Info Main Bola – Jakarta – Sepakbola Indonesia lebih banyak diwarnai masalah ketimbang prestasi. Meski sepakbola sangat populer, tapi belum bisa dikemas menjadi industri menguntungkan.
Hal itu diungkapkan Arief Putra Wicaksono, selaku CEO dari Nine Sport, promotor yang bergerak di bisnis sepakbola. Arief meyakini Indonesia punya potensi besar, makanya ia konsisten untuk terus menggarap bisnis ini bertahun-tahun.
Masalah penunggakan gaji oleh klub, adalah salah satu bukti bahwa sepakbola Indonesia masih jalan di tempat. Sebuah klub yang menyandang status profesional ternyata tak memiliki uang untuk membayar upah pemainnya.
Belum lagi keterlibatan tokoh-tokoh politik, baik itu di level klub maupun federasi. Tak ada yang benar-benar serius ingin memajukan sepakbola Indonesia, yang ada adalah ambisi pribadi demi karier politiknya sendiri.
Istilah industri sepakbola yang kerap digaungkan, bagai sebuah utopia yang cuma menjadi angan-angan. Buktinya klub sepakbola Indonesia sempat lama menggunakan dana APBD untuk membiayai operasional klub sampai akhirnya keluar larangan dari Kemendagri pada 2012.
Sejak larangan penggunaan APBD, klub dipaksa untuk mencari uang sendiri ke sponsor tanpa menyusu ke dana pemerintah lokal. Kira-kira 10 tahun setelah kebijakan itu, sepakbola Indonesia kerap dilanda masalah ketika hendak menggapai ke arah yang lebih baik.
Masalah-masalah itu beberapa di antaranya adalah dualisme federasi, dualisme kompetisi, hingga banned dari FIFA pada 2015. Teranyar, sepakbola Indonesia diwarnai tragedi memilukan yang memakan 135 nyawa sehingga kompetisi saat ini harus vakum.
Arief yakin hal ini bisa diperbaiki, asal ada kemauan dan menerapkan kebijakan yang tepat. Sumber permasalahan juga harus dicari lalu dibenahi.
Dari kacamata saya sepakbola itu alat politik. Sampai 2004 Berlusconi saja menjadi Perdana Menteri (Italia), Presiden AC Milan, pemilik AC Milan. Di kita 2012 baru ada aturan larangan penggunaan APBD. Nah tapi kan perubahan sepakbola menjadi industri di Eropa mungkin mudah,” kata Arief saat berbincang dengan detikSport.
“Di Indonesia kita susah. Di rangking FIFA saja kita di urutan 100-an. Sedangkan untuk mengubah APBD menjadi industri itu kan butuh daya beli untuk sponsor, tiket, sponsor di tv juga mau jualan ujung-ujungnya. Orang selalu bilang sepakbola Indonesia hanya ramai, tapi tak pernah likuid,” ujarnya menambahkan.
Kesadaran akan membeli merchandise original dari jualan klub juga menjadi isu lain. Beberapa klub sudah mencoba mencari pendapatan dari sektor ini, tapi belum bisa diharapkan sebagai pemasukan utama.
Sudah lama praktek jualan barang palsu terjadi di Indonesia, orang lebih memilih barang yang lebih murah. Persija Jakarta menjadi salah satu yang melek soal ini, merchandise mereka didaftarkan secara resmi sebagai HKI (Hak Kekayaan Intelektual) sehingga praktik pemalsuan bisa diperkarakan ke ranah hukum.
“Nah itu faktanya. Fans layar kaca yang katanya ekonominya lebih baik dari fans lokal, nyatanya juga nggak beli jersey. Karena sehari-hari masih memikirkan makan, sekolah anak, lalu dipaksa setiap pekan membeli tiket, dipaksa setiap tahun membeli jersey. Itu missing link-nya,” tutur Arief.
“Makanya dari 2011 sampai sekarang sepakbola kita belum maju-maju, karena ada saja yang disalahkan. Ada pergantian ketua (PSSI) lah, ada komite penyelamat. Bukan salah orangnya, tapi ada missing link yang belum disambungkan,” ucapnya.
“Makanya saya 2016 dan 2019 nyalon (ketum PSSI), bukan karena saya punya passion di politik atau mau power di sepakbola. Bukan. Cuma karena bisnis saya sepakbola tok. Beda dengan yang lain, mereka punya usaha di bidang lain dan hobinya sepakbola. Kalau saya merasa ada bagian yang belum dibetulkan, bukan tidak bisa tapi belum saja,” kata Arief lagi. situs dominoqq